Minggu, 29 April 2012



Saat ini kota Semarang memiliki penduduk sebanyak 1,4 juta jiwa, bila diumpamakan satu warga membuang limbah dair konsumsi sehari-hari sebanyak 2,5 kg. Maka bisa dibayangkan dengan populasi sebanyak itu dapat menyumbang lebih banyak limbah dari pada sektor industri.

Pernyataan diatas disampaikan oleh aktivis lingkungan Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI) Feri Prihantoro, ST. Hal serupa pun ditegaskan oleh Ir. Gunawan Wicaksono selaku kepala Bidang Penanganan Sengketa Lingungan dan Pemulihan kualitas hidup. Dari tahun ketahun isu kerusakan lingkungan oleh sektor industri sering digemakan banyak pihak. Berbagai macam kebijakan dibuat untuk mengurangi dampak buruk hadirnya industri terhadap lingkungan. Tetapi saat ini hal tersebut pantas untuk dikaji ulang. Saat ini, limbah sektor domestik juga menyumbang tak kalah besar dengan sampah dari limbah industri.
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, degredasi lingkungan karena limbah domestic dapat banyak kita temui diberbagai sudut kota. Masalah sampah, seperti yang diungkapkan oleh Perwakilan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan kota semarang  Woro Sugito,MM  dalam  talkshow pengelolaan sampah yang diadakan oleh Magister Ilmu Lingkungan Undip pada bulan April 2011 lalu bahwa Saat ini untuk kota  semarang sendiri dihasilkan 6500m3 sampah perhari sedangkan kemampuan TPA sendiri hanya sekitar 4700m3. Hal tersebut menunjukan bahwa tidak semua sampah dari masyarakat kota bisa ditampung dalam TPA yang telah disediakan.
Selain sampah, kerusakan lain terjadi pada air dan tanah di ibu kota jawa tengah ini juga harus mulai ditanggapi dengan serius. Pencemaran sungai terjadi hampir di semua sungai yang ada di kota ini, padahal untuk memenuhi kebutuhan air bersih, PDAM kota Semarang masih mengandalkan pengelolaan air sungai. Selain sungai, pencemaran terhadap air sumur warga pun terjadi dibeberapa tempat di kota ini, air sumur yang seharusnya menjadi sumber kehidupan warga terlihat keruh dan tidak layak pakai.
Kualitas tanah pun sudah tidak baik lagi, Feri Prihatoro mengungkapkan indikator kecil menurunnya kualitas tanah adalah banyak limbah-limbah non organic seperti sampah plastic yang ditemui saat menggali tanah. Daerah resapan air semakin lama menjadi semakin kecil seiring bertambahnya bangunan-bangunan baru. Hal tersebut berimbas pada banjir dan rob yang kerap melanda kota ini.
Hal-hal tersebut merupakan contoh kecil kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan masyarakat yang dilakukan terus menerus tanpa memperhitungkan keseimbangan ekosistem alam. Ir. Syafrudin, CES, MT, dosen Tehnik Lingkungan UNDIP mengatakan bahwa bila hal ini terus-menerus dibayarkan, masyarakat nantinya akan mengeluarkan eksternal cost yang tidak sedikit. Dampak-dampak yang ditimbulkan seperti penyebaran virus penyakit, lingkungan tidak layak huni dan semakin sedikit sumber daya alam yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi bisa menjadi contoh eksternal cost yang harus dikeluarkan oleh masyarakat.

Posisi masyarakat dalam sustainable development
Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi
dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan  tersebut dibutuhkan peran serta masyarakat, baik dalam melestarikan alam atau dalam memperbaiki kerusakan alam. Tetapi sayangnya masih banyak degredasi lingkungan yang justru disebabkan oleh masyarakat sendiri.
“masyarakat dengan populasi yang besar saja sudah menyumbang degredasi lingkungan karena memiliki domestic waste yang besar, mereka membutuhkan konsusumi yang besar, sehingga mendorong industri untuk terus berproduksi”ujar Ir. Gunawan Wicaksono.
Menurut Feri Prihantoro, terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi sifat masyarakat yang tidak menjaga lingkungan. Salah satunya adalah regulasi. Beliau mengungkapkan bahwa pendidikan untuk menjaga lingkungan sudah kerap kali dilakukan di banyak jenjang pendidikan, dari segi kognitif masyarakat sudah banyak tahu tentang pentingnya menjaga lingkungan. Tetapi sayangnya sebagian masyarakat yang  “banyak tahu” tersebut tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adannya ketegasan regulasi pemerintah, masyarakat secara terpaksa akan terbiasa dalam menjaga lingkungan. “regulasi saja memang kurang, tetapi pendidikan tanpa regulasi juga susah” ujarnya ketika ditanya tentang faktor yang menyebabkan sulitnya masyarakat menjaga lingkungan.
Dilain tempat,  Ir. Syafrudin, CES, MT, dosen Teknik Lingkungan UNDIP menyatakan pendapatnya yang berbeda dengan Feri, Beliau menganggap “kepentingan perut” menjadi alasan krusial mengapa masyarakat tidak peduli tentang ketidakseimbangan alam. “kalau tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat lingkungan bisa lebih baik” ujarnya. Beliau juga mencontohkan masyarakat yang tidak segan membabat hutan hingga gundul dan menyebabkan kerusakan dihilir hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang pas-pasan. 

Kendala dalam pemberdayaan masyarakat
Menyikapi hal tersebut, sudah banyak pihak yang mencoba untuk memberdayakan masyarakat agar berjalan seimbang dalam menjaga lingkungan. Berbagai bentuk seminar dan penyuluhan tentang pembangunan berkelanjutan telah diadakan oleh banyak akademisi. LSM lingkungan hidup sering melakukan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk mengajak masyarakat turut serta dalam menjaga lingkungan. tetapi hal itu tidak mudah dijalankan.
Ir. Syafrudin, CES, MT mengatakan bahwa salah satu kendala pemberdayaan masyarakat cara mengkomunikasikan kewajiban masyarakat dalam menjaga lingkungan. Umumnya masyarakat telah sadar penting menjaga lingkungan, tetapi tidak tahu kewajiban-kewajiban apa yang harus di lakukan oleh mereka. Dalam Polluter pays principle tertulis jelas bahwa siapa yang merusak lingkungan, harus membayar kerusakan tersebut. Hal tersebut menunjukan bahwa setiap kerusakan yang ditimbulkan oleh masyarakat memiliki kewajiban untuk memperbaikinya.
Pemerintah pun bukannya tidak melakukan tindakan. Berbagai himbauan dibanner dibuat sebagai provokasi kepada warga untuk menjaga lingkungan. Tetapi walaupun begitu, Ir. Gunawan Wicaksono mengatakan bahwa tidak seperti pengaturan sektor industri yang memiliki kesepakatan regulasi yang jelas, kerusakan lingkungan oleh masyarakat terjadi  karena akumulasi jutaan penduduk dan belum memiliki kesepakatan regulasi yang jelas.
“kita tidak mungkin mencabut ijin tinggal warga”  tegasnya.
Dipihak lain, LSM BINTARI mengatakan bahwa selama ini kendala yang dihadapinya adalah membuat masyarakat merealisasikan kesadarannya menjadi sebuah kebiasaan. Feri Prihantoro mengatakan “mengajarkan membuang sampah mungkin mudah, tetapi dari menanamkan pelajaran, hingga membuat masyarakan sadar merealisasikan hal tersebut butuh waktu lama”. Selain itu ia menambahkan karakter masyarakat lebih mudah untuk diajak berpartisipasi bila manfaat dari kegiatan dapat dirasakan secara langsung.




Solusi
Terkait dengan Pembangunan Berkelanjutan, didalam pengelolaan lingkungan, Ir. Syafrudin, CES, MT mengatakan tidak lepas dari lima aspek. Aspek yang pertama adalah kelembagan, artinya dibutuhkan peran kelembagaan untuk mengatur dan mengawasi sistem yang ada, dalam konteks kota, kelembagaan ini bisa dipegang oleh pemerintah daerah. Aspek yang kedua adalah Peraturan tertulis, seperti halnya peraturan daerah yang tertulis jelas hukumnya. Dosen Teknik lingkungan ini juga menambahkan bahwa ketegasan law investmen sangat dibutuhkan, “bukan untuk menakuti, tapi law investment digunakan untuk mendidik masyarakat”, sistem reward dan punishment juga dapat menjadi solusi untuk mengapresiasi warga. Aspek ke tiga adalah financial, dalam hal ini Ir. Syafrudin, CES, MT menjelaskan, bukan hanya pemerintah yang berkewajiban menginvestasikan dana untuk menjaga lingkungan, tetapi juga masyarakat. Perlahan masyarakat harus mulai disadarkan bahwa investasi yang mereka lakukan digunakan untuk kesejahteraan mereka.
Aspek selanjutnya adalah aspek Teknis. Aspek keempat ini harus dilengkapi oleh pemerintah seperti infrastruktur, jalan, lokasi dan tata kota lain. Aspek terakhir adalah peran serta masyarakat dalam menjaga lingkungan tetap seimbang. Kelima aspek tersebut tidak dapat dipisahkan. Tingginya peran masyarakat tidak akan berarti bila pemerintah tidak menyiapkan infrastruktur yang layak dan bisa digunakan. Peran lembaga seperti LSM dan akademisi pun berperan penting untuk menjadi mediator antara masyarakat dan pemerintah.
Diluar itu semua, menjaga lingkungan adalah kewajiban setiap insan dibumi ini. Semua yang mengambil manfaat lingkungan harus berkewajiban untuk melestarikannya untuk generasi berikutnya.
“Bila kerusakan lingkungan itu terjadi, costnya akan lebih besar disbanding mengatasi sebelum kerusakan itu terjadi. Masyarakat itu kenapa penting diberdayakan, untuk menghidari cost yang lebih besar dikemudian hari” ujar Feri Prihantoro ketika ditanya tentang harapannya kepada masyarakat dalam menjaga lingkungan.

sumber foto : suara merdeka, kompas.com, http://albertusgoentoer.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar