Saat ini
kota Semarang memiliki penduduk sebanyak 1,4 juta jiwa, bila diumpamakan satu
warga membuang limbah dair konsumsi sehari-hari sebanyak 2,5 kg. Maka bisa
dibayangkan dengan populasi sebanyak itu dapat menyumbang lebih banyak limbah
dari pada sektor industri.
Pernyataan diatas disampaikan oleh aktivis lingkungan
Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI) Feri Prihantoro, ST. Hal serupa pun
ditegaskan oleh Ir. Gunawan Wicaksono selaku kepala Bidang Penanganan Sengketa
Lingungan dan Pemulihan kualitas hidup. Dari tahun ketahun isu kerusakan
lingkungan oleh sektor industri sering digemakan banyak pihak. Berbagai macam
kebijakan dibuat untuk mengurangi dampak buruk hadirnya industri terhadap
lingkungan. Tetapi saat ini hal tersebut pantas untuk dikaji ulang. Saat ini,
limbah sektor domestik juga menyumbang tak kalah besar dengan sampah dari
limbah industri.
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, degredasi
lingkungan karena limbah domestic dapat banyak kita temui diberbagai sudut
kota. Masalah sampah, seperti yang diungkapkan oleh Perwakilan dari Dinas Kebersihan dan
Pertamanan kota semarang Woro Sugito,MM dalam talkshow pengelolaan sampah yang diadakan
oleh Magister Ilmu
Lingkungan Undip pada bulan April 2011 lalu bahwa Saat ini untuk kota semarang
sendiri dihasilkan 6500m3 sampah perhari sedangkan kemampuan TPA sendiri hanya
sekitar 4700m3. Hal tersebut menunjukan bahwa tidak semua sampah
dari masyarakat kota bisa ditampung dalam TPA yang telah disediakan.
Selain sampah, kerusakan lain terjadi pada air dan
tanah di ibu kota jawa tengah ini juga harus mulai ditanggapi dengan serius.
Pencemaran sungai terjadi hampir di semua sungai yang ada di kota ini, padahal
untuk memenuhi kebutuhan air bersih, PDAM kota Semarang masih mengandalkan
pengelolaan air sungai. Selain sungai, pencemaran terhadap air sumur warga pun
terjadi dibeberapa tempat di kota ini, air sumur yang seharusnya menjadi sumber
kehidupan warga terlihat keruh dan tidak layak pakai.
Kualitas tanah pun sudah tidak baik lagi, Feri
Prihatoro mengungkapkan indikator kecil menurunnya kualitas tanah adalah banyak
limbah-limbah non organic seperti sampah plastic yang ditemui saat menggali
tanah. Daerah resapan air semakin lama menjadi semakin kecil seiring
bertambahnya bangunan-bangunan baru. Hal tersebut berimbas pada banjir dan rob yang
kerap melanda kota ini.
Hal-hal tersebut merupakan contoh kecil kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan masyarakat yang dilakukan terus
menerus tanpa memperhitungkan keseimbangan ekosistem alam. Ir. Syafrudin, CES,
MT, dosen Tehnik Lingkungan UNDIP mengatakan bahwa bila hal ini terus-menerus
dibayarkan, masyarakat nantinya akan mengeluarkan eksternal cost yang tidak
sedikit. Dampak-dampak yang ditimbulkan seperti penyebaran virus penyakit,
lingkungan tidak layak huni dan semakin sedikit sumber daya alam yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi bisa menjadi contoh eksternal cost yang harus
dikeluarkan oleh masyarakat.
Posisi masyarakat dalam sustainable development
Menurut Brundtland Report dari PBB
(1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses
pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan
pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan
kebutuhan pembangunan ekonomi
dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan tersebut dibutuhkan peran serta masyarakat,
baik dalam melestarikan alam atau dalam memperbaiki kerusakan alam. Tetapi
sayangnya masih banyak degredasi lingkungan yang justru disebabkan oleh
masyarakat sendiri.
“masyarakat dengan populasi
yang besar saja sudah menyumbang degredasi lingkungan karena memiliki domestic
waste yang besar, mereka membutuhkan konsusumi yang besar, sehingga mendorong
industri untuk terus berproduksi”ujar Ir.
Gunawan Wicaksono.
Menurut Feri Prihantoro, terdapat beberapa faktor yang
melatar belakangi sifat masyarakat yang tidak menjaga lingkungan. Salah satunya
adalah regulasi. Beliau mengungkapkan bahwa pendidikan untuk menjaga lingkungan
sudah kerap kali dilakukan di banyak jenjang pendidikan, dari segi kognitif
masyarakat sudah banyak tahu tentang pentingnya menjaga lingkungan. Tetapi
sayangnya sebagian masyarakat yang
“banyak tahu” tersebut tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan adannya ketegasan regulasi pemerintah, masyarakat secara
terpaksa akan terbiasa dalam menjaga lingkungan. “regulasi saja memang kurang,
tetapi pendidikan tanpa regulasi juga susah” ujarnya ketika ditanya tentang
faktor yang menyebabkan sulitnya masyarakat menjaga lingkungan.
Dilain tempat, Ir.
Syafrudin, CES, MT, dosen Teknik Lingkungan UNDIP menyatakan pendapatnya yang
berbeda dengan Feri, Beliau menganggap “kepentingan perut” menjadi alasan
krusial mengapa masyarakat tidak peduli tentang ketidakseimbangan alam. “kalau
tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat lingkungan bisa lebih baik” ujarnya.
Beliau juga mencontohkan masyarakat yang tidak segan membabat hutan hingga
gundul dan menyebabkan kerusakan dihilir hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka yang pas-pasan.
Kendala
dalam pemberdayaan masyarakat
Menyikapi hal tersebut, sudah banyak pihak yang
mencoba untuk memberdayakan masyarakat agar berjalan seimbang dalam menjaga
lingkungan. Berbagai bentuk seminar dan penyuluhan tentang pembangunan
berkelanjutan telah diadakan oleh banyak akademisi. LSM lingkungan hidup sering
melakukan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk mengajak masyarakat turut
serta dalam menjaga lingkungan. tetapi hal itu tidak mudah dijalankan.
Ir. Syafrudin, CES, MT mengatakan bahwa salah satu
kendala pemberdayaan masyarakat cara mengkomunikasikan kewajiban masyarakat
dalam menjaga lingkungan. Umumnya masyarakat telah sadar penting menjaga
lingkungan, tetapi tidak tahu kewajiban-kewajiban apa yang harus di lakukan
oleh mereka. Dalam Polluter pays principle tertulis jelas bahwa siapa yang
merusak lingkungan, harus membayar kerusakan tersebut. Hal tersebut menunjukan
bahwa setiap kerusakan yang ditimbulkan oleh masyarakat memiliki kewajiban
untuk memperbaikinya.
Pemerintah pun bukannya tidak melakukan tindakan.
Berbagai himbauan dibanner dibuat sebagai provokasi kepada warga untuk menjaga
lingkungan. Tetapi walaupun begitu, Ir. Gunawan Wicaksono mengatakan bahwa
tidak seperti pengaturan sektor industri yang memiliki kesepakatan regulasi
yang jelas, kerusakan lingkungan oleh masyarakat terjadi karena akumulasi jutaan penduduk dan belum
memiliki kesepakatan regulasi yang jelas.
“kita tidak mungkin mencabut ijin tinggal warga” tegasnya.
Dipihak lain, LSM BINTARI mengatakan bahwa selama ini
kendala yang dihadapinya adalah membuat masyarakat merealisasikan kesadarannya
menjadi sebuah kebiasaan. Feri Prihantoro mengatakan “mengajarkan membuang
sampah mungkin mudah, tetapi dari menanamkan pelajaran, hingga membuat
masyarakan sadar merealisasikan hal tersebut butuh waktu lama”. Selain itu ia
menambahkan karakter masyarakat lebih mudah untuk diajak berpartisipasi bila
manfaat dari kegiatan dapat dirasakan secara langsung.
Solusi
Terkait dengan Pembangunan Berkelanjutan, didalam
pengelolaan lingkungan, Ir. Syafrudin, CES, MT mengatakan tidak lepas dari lima
aspek. Aspek yang pertama adalah kelembagan, artinya dibutuhkan peran
kelembagaan untuk mengatur dan mengawasi sistem yang ada, dalam konteks kota,
kelembagaan ini bisa dipegang oleh pemerintah daerah. Aspek yang kedua adalah
Peraturan tertulis, seperti halnya peraturan daerah yang tertulis jelas
hukumnya. Dosen Teknik lingkungan ini juga menambahkan bahwa ketegasan law
investmen sangat dibutuhkan, “bukan untuk menakuti, tapi law investment
digunakan untuk mendidik masyarakat”, sistem reward dan punishment juga dapat
menjadi solusi untuk mengapresiasi warga. Aspek ke tiga adalah financial, dalam
hal ini Ir. Syafrudin, CES, MT menjelaskan, bukan hanya pemerintah yang
berkewajiban menginvestasikan dana untuk menjaga lingkungan, tetapi juga
masyarakat. Perlahan masyarakat harus mulai disadarkan bahwa investasi yang
mereka lakukan digunakan untuk kesejahteraan mereka.
Diluar itu semua, menjaga lingkungan adalah kewajiban
setiap insan dibumi ini. Semua yang mengambil manfaat lingkungan harus
berkewajiban untuk melestarikannya untuk generasi berikutnya.
“Bila kerusakan lingkungan itu terjadi, costnya akan
lebih besar disbanding mengatasi sebelum kerusakan itu terjadi. Masyarakat itu
kenapa penting diberdayakan, untuk menghidari cost yang lebih besar dikemudian hari”
ujar Feri Prihantoro ketika ditanya tentang harapannya kepada masyarakat dalam
menjaga lingkungan.
sumber foto : suara merdeka, kompas.com, http://albertusgoentoer.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar