Jumat, 16 Agustus 2019



View dari tenda kami di pagi hari
Pagi pertama di Plawangan Sembalun

Semalaman saya sulit tidur, alasannya klasik dan cupu. Ternyata saya suka romantisme alam tapi susah tidur kalau tidak ketemu kasur. Jadi jam 5 pagi saya sudah usil bangunin suami buat lihat sunrise. Malam sebelumnya kami tidak jadi menikmati milkyway karena lelah dan dingin. Jadi pagi harinya saya tidak mau melewatkan moment sunrise di Plawangan Sembalun ini. Karena posisi tenda kami didekat tembok gunung (agar terlindungi dari angin, saya sebutnya tembok gunung) kami harus berjalan sedikit ke tanah lapang didekat situ untuk menikmati sunrise.

Setelah kembali ke tenda, porter kesayangan kami sudah menyediakan minuman hangat dan roti bakar. Itu baru snack pagi lho, belum sarapan nasi goreng ditemani view danau sagara anak dari tenda kami. Ini nikmatnya mendaki rinjani seperti yang sering para pendaki ceritakan, porter yang ramah dan masakannya enak. Saya setuju dengan itu, tapi saya kurang setuju dengan salah satu pendapat teman saya yang bilang "naik gunung rinjani paling enak karena gak begitu berat dengan bawaannya" iya sih, bawaan dibawa porter, tapi mendakinya tetap berat buat saya.

Rinjani belum lama dibuka oleh TNGR saat saya memutuskan mendaki rinjani di Agustus 2019. Keuntungannya adalah tentu saja private trip ini terasa lebih private lagi karena masih sedikit pendaki yang datang. Kekurangannya, saya tidak bisa camp di Danau Sagara anak karena sama seperti puncak, Danau Sagara Anak belum kondusif dikunjungi pasca gempa. Jalur legal yang dibuka oleh TNGR hanya sampai Plawangan Sembalun saja. Di hari pertama, saya mengutarakan keinginan untuk menuju danau sagara anak pada Abu. Dia bilang lihat nanti, karena belum ada yang pernah kesana dari Plawangan Sembalun setelah gempa. 


view danau sagara anak dari lokasi tenda kami, terlihat jelas tapi tiga jam perjalanan
Sedikit cerita, Abu ini salah satu orang penting di Rinjani, dia salah satu pembuat jalur pendakian Timbanuh, dia juga salah satu tim survey jalur pendakian Plawangan Sembalun sebelum dibuka dan dia juga yang sering banget jadi sukarelawan SAR dalam evakuasi korban di Rinjani termasuk korban meninggal saat gempa terjadi. Jadi saat itu, saya percaya pada keputusan dia, kalau memang dia bilang tidak ya berati bahaya ke Sagara Anak.

Dipagi hari sebelum sarapan, Abu bilang kita bisa coba ke Danau Sagara Anak, tapi tidak mungkin camp disana, karena trip saya hanya dua malam saja, jadi akan sulit kalau camp di Danau Sagara Anak hari itu dan besoknya harus langsung ke Desa Sembalun lagi, lagipula Abu juga belum tahu bagaimana kondisi jalurnya. Jadilah kami berdua didampingi oleh Abu dan Opan menuju danau sagara anak bersama rombongan dari Medan, dua orang mahasiswa dan satu porter bernama mas Tarzan. Sedangkan Sora dan Bang Iyan menjaga tenda dari monyet-monyet lapar.


Perjalanan ke Danau Sagara Anak dimulai
Kami berangkat jam 9 pagi dari Plawangan Sembalun setelah sarapan. Treknya adalah turun, turun banget, dan turun ekstrim di awal perjalanan. Saya udah deg-degan aja, gimana nanti naiknya, pasti kewalahan. Belum setengah jam perjalanan, kami menemukan jalan yang runtuh akibat gempa sehingga membuat jalan itu kecil banget (kalau dalam kondisi normal, saya gak mau sebut itu jalan, saya sebut itu dinding). Rasanya jeng-jeng-nano-nano banget, saya naik flying fox aja gak berani, ini nemu jalan kecil cuma bisa selebar sepatu, jalannya harus mepet ke dinding gunung dan bawahnya jurang. Tapi Abu gak kasih isyarat untuk gak jadi ke Danau Sagara Anak karena jalan itu. Dia tetep jalan terus melewati jalan-runtuh-yang-bawahnya-jurang. Dan saya tidak membiarkan diri saya untuk sempat untuk takut, kosongin aja pikirannya, toh Abu biasa evakuasi korban. Maksudnya kalo jatuh, langsung di evakuasi aja sama Abu.




Jalan-runtuh-yang-bawahnya-jurang
Setelah dibantu Mas Tarzan juga, kita berhasil melewati jalan kecil itu dan melanjutkan perjalanan ke Danau Sagara Anak. View menuju kesana sangat indah, kadang awan datang menemani sebentar, lalu ketika awan tersebut tersibak, pemandangan danau muncul dengan indahnya. 

Ketika saya menulis blog ini, saya teringat lagi kenapa saya punya mimpi ke Rinjani, Ya karena pemandangan itu yang membuat saya bermimpi dan nekat kesana walau fisik saya bukan pendaki.


Pemandangan seperti ini banyak terlihat sepanjang jalan, kebayang paniknya saat terjadi gempa
Abu bilang butuh waktu tiga jam ke Danau Sagara Anak. Karena view danau terlihat jelas dari Plawangan Sembalun, saya pikir saya bisa dengan cepat gak sampai tiga jam ke Danau Sagara Anak, tapi ternyata tiga jam pas kita sampai kesitu. Sepanjang perjalanan kami melewati jalan runtuh, jalan sempit, jembatan rapuh dan banyak barang bawaan dari pendaki yang ditinggal begitu saja saat gempa. Saat melihat itu semua rasanya ngeri membayangkan suasana saat gempa berlangsung, Rinjani termasuk gunung dengan banyak pendaki, dengan minimnya komunikasi dan informasi, banyak pendaki yang mengira gunung akan meletus. Jadi kebayang gimana paniknya mereka saat itu. 


Sampai di danau, suami happy banget, saya yang sering browsing dan ngeliatin view danau sagara anak aja happy, apalagi dia yang gak pernah cari tau sama sekali, dia cuma tau disitu ada danau, tapi gak nyangka kalau sebagus itu. Bahkan kami bisa cuci muka dengan air danau dan segernya bikin capeknya hilang. Di danau, hanya ada kami bertujuh. Kata Abu, danau ini serasa milik kalian saja, karena dia sendiri gak pernah ke Danau Sagara Anak dalam kondisi se-sepi itu.

Setelah puas di Danau Sagara Anak, kami menuju ke air terjun pemandian air panas dekat danau sagara anak. Disini benar-benar rileks, kami bersyukur dan menikmati setiap moment bersama alam disini. Abu dan Opan mulai masak makan siang. Saya dan suami mandi di pemandian air panas. Diantara saya, suami dan dua orang Medan saat itu, hanya saya yang tahu kalau disini ada pemandian air panas, kebayang happy-nya mereka menemukan pemandian air panas. Lelah nya perjalanan ke tempat ini benar-benar hilang saat menikmati Danau Sagara Anak dan mandi di air terjun belerang ini.




Setelah makan siang, kami bersiap untuk kembali ke Plawangan Sembalun. Kami berangkat sekitar jam 2.30 siang. Sepanjang perjalanan, banyak kabut tebal, saya jadi mikir, mungkin banyak cerita pendaki hilang dan nyasar karena digunung sering banyak kabut yang menutupi jalan. 

Diperjalanan naik ke Plawangan Sembalun, sekuat tenaga saya berjalan dengan cepat, karena saya khawatir saat sampai di jalan-runtuh-yang-bawahnya-jurang itu saat sudah gelap, pasti akan repot dan mengerikan. Setiap kali lelah, saya kembali memikirkan jalan-runtuh-yang-bawahnya-jurang itu dan akhirnya kami sampai ditempat itu saat matahari belum terbenam. Setelah melewatinya, kekuatan jalan saya seperti hilang dan segala lemas kembali datang. Abu tidak paksa kami untuk jalan, dia malah ikut duduk dan menikmati hamparan awan di Rinjani yang mulai diiringi perlahan-lahan oleh warna matahari terbenam. 


Kabut semakin tebal sepanjang perjalanan kami pulang ke Plawangan Sembalun
Di moment itu, Abu bercerita tentang pengalaman dia evakuasi beberapa korban Rinjani, pernah tujuh orang meninggal karena hipotermia. Tujuh orang itu mendaki tanpa melapor saat rinjani ditutup untuk pendakian, setiap tahun rinjani punya waktu ditutup karena di bulan tertentu memang rinjani tidak aman karena ada badai. Saat mendengar kisah itu saya merasa alam punya caranya sendiri dalam berbagi dan menyendiri, ketika saat berbagi, dia akan senang hati berbagi keindahan dengan kita. Tapi ada saatnya dia ingin sendiri, memperbaiki diri, memperindah diri, dan saat itu para lokal tahu kita tidak seharusnya mengganggu alam. Dan bila kita tidak mendengar para penduduk lokal sekitar yang sangat kenal dengan alamnya, ada konsekuensi yang harus diterima oleh kita. Jadi, kalau rinjani ditutup, yaudah nurut aja, jangan maksa ya. Tidak hanya rinjani, tapi alam yang lain juga.

Kami mendengarkan cerita Abu tentang Rinjani dengan pemandangan seindah ini
Setelah puas bercerita, kita kembali ke Plawangan Sembalun. Disambut oleh Sora. Porter kita Sora ini ceria banget, setiap kita mendekat di tenda, dia selalu sambut dan menawarkan bantuan untuk membawa tas kita. Sampai ke tenda saat sudah gelap, tapi kami memang tidak buru-buru untuk sampai ke tenda. Setelah melewati jalan-runtuh-yang-bawahnya-jurang kami memang sengaja banyak istriahat dan menikmati pemandangan rinjani.

Setelah pejalanan ke Danau Sagara Anak, kami paham betul kenapa jalur ini belum dibuka sampai beberapa waktu kedepan, karena banyak perbaikan yang harus dilakukan, mengingat peminat Danau Sagara Anak sangat banyak. Saat kami kesana kami hanya bertujuh, jadi jalan masih bisa dilewati. Lebih dari 50 orang pastinya jalur ini belum aman.







0 komentar:

Posting Komentar